Pencegahan Radikalisme dalam Lingkungan Kampus di Era Milenial: Suatu Kajian Sosio-Legal. Oleh Dr. Nam Rumkel, S.Ag., M.H

ORASI ILMIAH PENCEGAHAN RADIKALISME DALAM LINGKUNGAN KAMPUS DI ERA MILENIAL: SUATU KAJIAN SOSIO-LEGAL Oleh Dr. Nam Rumkel, S.Ag., M.H. Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Khairun Disampaikan Pada Rapat Senat Terbuka Wisuda Sarjana dan Magister Universitas Khairun, Tanggal 15 September 2018. Bismillahirrahmanirrahim Yang Terhotmat Dewan Penyantun Universitas Khairun; Ketua, Sekretaris dan seluruh Anggota Senat Universitas Khairun; Rektor dan Wakil Rektor, Para Dekan dan segenap Civitas Akademika Universitas Khairun; Bapak Gubernur Provinsi Maluku Utara beserta jajarannya; Bapak Walikota Ternate beserta jajarannya; Bapak/Ibu Muspida Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate Teristimewa para Wisudawan / Wisudawati yang Saya banggakan Para undangan dan hadirin yang berbahagia
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk Kita Semua Tiada kata yang tepat untuk diucapkan selain puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, kita dapat berkumpul dalam suasana yang sangat berbahagia ini untuk bersama-sama mengikuti Sidang Terbuka Senat Universitas Khairun dengan acara Wisuda Sarjana dan Magister Universitas Khairun. Hadirin yang berbahagia Pada kesempatan yang berbahagia ini, Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor yang telah memberikan kepercayaan kepada Saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah di depan Sidang Terbuka Senat Universitas Khairun. Selanjutnya perkenankanlah Saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah ini dengan judul: Pencegahan Radikalisme dalam Lingkungan Kampus di Era Milenial:
Suatu Kajian Sosio-Legal.

Pemilihan judul tersebut telah melalui banyak pertimbangan dan diskusi oleh beberapa pihak. Ketika saya dihubungi pertama kali oleh pihak rektorat (kurang
lebih 2 minggu yang lalu) untuk meminta kesediaan membawakan orasi ilmiah, yang terlintas dipikiran saya pertama kali adalah kalimat “Zaman Now” dan beberapa ujaran kebencian diberbagai media sosial akibat perbedaan pandangan politik, keyakinan, dan lain sebagainya. Sehingga dengan melihat urgensi kebutuhan Universitas Khairun yang kita cintai bersama ini, dan juga kompetensi keilmuan saya dibidang Ilmu Hukum, maka lahirlah pembahasan orasi ilmiah saya dengan judul yang telah saya sebutkan di awal.

Hadirin yang berbahagia Salah satu sasaran radikalisme saat ini adalah di lingkungan kampus, kenapa demikian? Karena kampus memiliki pengaruh yang besar dan signifikan bagi paham radikal jika tidak dicegah sejak dini. Dapat kita bayangkan bagaimana pengaruhnya jika seorang yang terpelajar, dianggap sebagai tokoh panutan di masyarakat namun menyebarkan paham radikal, sudah tentu hal ini bukan tanpa pengikut, bahkan sebaliknya, bisa saja pengikutnya bisa berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan jika yang menyebarkan paham radikal adalah orang biasa (tanpa latar belakang pendidikan dan ketokohan dimasyarakat). Oleh karenanya, kampus berpotensi menjadi ladang yang basah bagi pertumbuhan dan penyebaran radikalisme. Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya
gerakan radikal yang berujung pada perilaku teror, akan tetapi dampak yang dihasilkan
dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek
daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik
daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama, dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan, atau dididik oleh kelompok aliran agama yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.

Pahaman ini tidak boleh masuk sedikitpun ke dalam lingkungan kampus yang bersih dari nilai-nilai negatif perusak keutuhan bangsa, kampus harus menjadi pilar pemersatu bangsa melalui para lulusan/alumni di berbagai bidang. Salah satu tantangan utama yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan perkembangan gerakan radikal tersebut adalah berkembangnya ideologi radikal di dalam lingkungan perguruan tinggi dengan menjadikan mahasiswa sebagai target.

Dalam beberapa media termasuk CNN Indonesia dijelaskan bahwa paham radikalisme telah berkembang pesat di dalam dunia kampus. Kampus dalam beberapa kesempatan telah dijadikan sebagai tempat kaderisasi dimana mahasiswa didoktrin untuk mengikuti paham radikal seperti khilafah. Salah satu narasumber yang pernah menjadi pengikut salah satu organisasi radikal menyebutkan bahwa doktrinisasi (“cuci otak”) paham radikal terjadi saat menjadi mahasiswa, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pelatihan militer. Anas Saidi (salah satu peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia / LIPI) dikutip dalam
CNN Indonesia menuturkan bahwa radikalisme memang telah menyentuh mahasiswa di
perguruan tinggi melalui proses perekrutan yang tertutup dan terorganisir, dan hal tersebut
dapat berpotensi memecah belah bangsa.

Lebih lanjut, menurut Endang Turmudi (yang juga salah satu peneliti LIPI) dikutip dalam
CNN Indonesia mengungkapkan bahwa permasalahan besarnya adalah, kelompokkelompok ini memiliki pandangan keyakinan dan sikap fundamentalisme yang kaku, selalu
merasa paling benar dan menggunakan cara-cara kekerasan. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para penyebar paham radikal, segala cara dapat dilakukan guna merekrut banyak orang, karena menurutnya semakin banyak pengikut atau sepaham dengan apa yang dipahaminya, maka akan semakin mudah tujuannya akan tercepat, hal ini tidak lain adalah membuat disintegrasi bangsa.

Hadirin yang berbahagia Berikutnya yang juga sangat berpengaruh terhadap menjamurnya radikalisme di masyarakat adalah stabilitas politik. Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dari luar. Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya, hal ini akan memudahkan paham radikal tumbuh dan menjamur di masyarakat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”, keikutsertaan setiap warga negara dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui: Pendidikan kewarganegaraan; Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan Pengabdian sesuai dengan profesi (hal inilah yang akan adik-adik wisudawan/wisudawati temui dan hadapi setelah keluar dari ruangan ini sebagai alumni Universitas Khairun). Hadirin yang berbahagia Radikalisme tidak sama dengan terorisme, namun tindakan radikal bisa berujung kepada perbuatan teror terhadap orang lain, sekelompok orang, dan bahkan terhadap pemerintah (atau yang lazimnya disebut sebagai terorisme). Hal ini perlu diperjelas oleh pemerintah atau aparat hukum yang berwenang, sehingga dapat teridentifikasi dengan baik apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut sudah tergolong melakukan perbuatan radikal, ataukah sudah sampai ke tahap perbuatan teror. Radikalisme adalah paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Makna radikalisme dalam sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan diyakininya, pengertian terakhir inilah yang pada umumnya diketahui oleh masyarakat.

Menurut Zuly, salah satu faktor pendukung terorisme adalah radikalisme agama,
pemahaman dan interpretasi agama secara kurang tepat dan keras yang selanjutnya
melahirkan seorang atau sekelompok muslim fundamentalis ekstrim yang memusuhi
kelompok lain meskipun seiman terlebih lagi terhadap mereka yang tidak seagama.
Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin
dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme
tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan. Paham-paham
inilah yang perlu dicegah sejak dini, karena jika hal ini terus dibiarkan, maka akan
merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme.

Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal, yakni: Intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain), Fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), Eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya), dan Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Berbicara mengenai terorisme di Propinsi Maluku Utara, berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Tim Peneliti FKPT Propinsi Maluku Utara yang didanai penuh oleh BNPT RI
Tahun 2015, belum ditemukan data, kabar, atau tanda-tanda adanya terorisme, namun jika
berbicara mengenai potensi adanya pemahaman radikal, maka hal tersebut tentu saja
sangat berpotensi, atau dengan kata lain bahwa masyarakat di Propinsi Maluku Utara
memiliki potensi pemahaman radikalisme sebagaimana hal ini juga terjadi (berpotensi) di
seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Survei Nasional Daya Tangkal Masyarakat terhadap Radikalisme yang dilaksanakan di Propinsi Maluku Utara ini telah memberikan gambaran yang jelas tentang 2 hal, yaitu: Pertama, bahwa potensi radikalisme di Propinsi Maluku Utara berada pada skor 54,73 atau berada pada kategori “sedang”.Kedua, bahwa masyarakat pada saat yang sama memiliki kemampuan untuk membendung perkembangan radikalisme melalui daya tangkal yang dimiliki. Salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan dan meyediakan berbagai informasi dan pengetahuan adalah perguruan tinggi. Disini adalah tempat para pemuda yang selanjutnya disebut sebagai mahasiswa menimba ilmu. Mahasiswa, terutama yang sangat kurang memiliki pengetahuan agama Islam, rentan terjebak dan terekrut kelompok-kelompok radikal Islam. Maka perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab untuk mencegah ideologi radikal tersebut agar tidak menjangkiti pikiran mahasiswa. Racun radikalisme seringkali menyerang pikiran kaum muda. Pelajar dan mahasiswa adalah sasaran empuk pahaman garis keras tersebut. Banyak hal yang perlu kita diskusikan bersama, karena kita sebagai masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dalam menjawab setiap permasalahan yangterjadi dimasyarakat memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral dalam mencegah danmemerangi setiap paham radikal yang kita temui, mencegah dengan cara-cara akademik, dan memerangi dengan cara-acara akademik pula.
Hadirin yang berbahagia Pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT  yang pada tahun 2012 diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan pencegahan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002. Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. BNPT mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang penindakan dan pembinaan kemampuan, serta bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari huluke hilir.Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hardpower) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (softpower). Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi, yakni: 1. Kontra radikalisasi: yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai- nilai nonkekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan. 2. Deradikalisasi: yang ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI. Hadirin yang berbahagia

Untuk mencegah berkembanganya gerakan radikal yang mengusung kekerasan sebagai
bentuk aktivitas pergerakan, pihak kampus ataupun pergurun tinggi di Indonesia memiliki
peran yang sangat penting. Penanaman ideologi Pancasila serta pendekatan agama menjadi bagian yang sangat penting untuk mencegah masuknya paham radikalisme di kampus. Pembelajaran kebangsaan melalui organisasi kemahasiswaan merupakan langkah
strategis, inovatif, terpadu, sistematis, serius, dan komprehensif dalam menanggulangi
radikalisme.
Di samping itu, perlu adanya suatu tempat konsultasi bagi mahasiswa di setiap perguruan
tinggi dimana setiap dosen termasuk dosen pembimbing keagamaan yang memiliki
kualifikasi dapat menjalankan peran konsultasi tersebut. Masih tingginya tingkat intoleransi di kalangan mahasiswa akan menyimpan benih sekam radikalisme yang masih besar yang jika tidak diatasi dapat menjadi pukulan berat bagi perguruan tinggi khususnya dan dunia pendidikan secara umum yang gagal dalam menanamkan nilai-nilai ke-bhinneka-an dan ideologi Pancasila terhadap mahasiswa. Oleh karena itu, tantangan tersebut harus dijawab dan dilaksanakan dengan sebagaikbaiknya oleh kampus yang kita cintai ini, kampus yang menjadi kebanggaan kita bersama, Universitas Khairun. Menurut penulis, setidaknya ada 4 (empat) cara agar lingkungan kampus terbebas dari paham radikalisme.

Pertama, pemetaan dan pencegahan terhadap birokrat (pejabat struktural kampus), tenaga
pendidik (dosen), dan tenaga kependidikan dari pandangan ektrem atau berideologi radikal.
Pada tahap ini kampus diperkuat oleh orang-orang yang memiliki wawasan kebangsaan
yang luwes, mementingkan integrasi semua elemen, dan mencegah potensi-potensi
disintegrasi di lingkungan kampus, sehingga lingkungan kampus (tempat kaum intelektual)
sudah siap untuk menerima calon-calon kaum intelektual sebagai generasi penerus bangsa
dimasa yang akan datang dan akan terus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini. Kedua, pimpinan perguruan tinggi harus terus berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak BNPT (selaku leading sektor pembuat kebijakan pada sector pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme / FKPT (selaku perpanjangan tangan BNPT di tingkat provinsi), pihak kesultanan (sebagai ciri khas dari Maluku Utara yang masih eksis hingga saat ini), dan para tokoh-tokoh organisasi keagamaan / lintas agama.

Koordinasi ini bisa dalam bentuk sinergitas program pencegahan radikalisme maupun
dalam bentuk pelibatan BNPT, FKPT, pihak Kesultanan, dan Tokoh Agama dalam beberapa
mata kuliah, seminar, focus group discussion, dan kegiatan-kegiatan lain di lingkungan
kampus yang dianggap perlu sehingga menumbuhkan cinta tanah air, menghormati
kearifan lokal yang ada, dan taat beragama di kalangan tenaga pendidik, tenaga
kependidikan, dan para mahasiswa sebagai satu-kesatuan civitas academica.

Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus melakukan pengawasan terhadap
setiap kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa, baik itu kegiatan internal maupun kegiatan eksternal, mengefektifkan sanksi yang tegas terhadap mahasiswa yang melanggar aturan kampus, dan pengurus-pengurus organisasi mahasiswa menjadi penanggung jawab teknis terhadap semua kegiatan mahasiswa di luar jam perkuliahan.

Keempat, sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satunya, yaitu menjadi institusi yang diandalkan dan ikut berkontribusi aktif dalam menyelesaikan masalahmasalah persoalan bangsa. Oleh karena itu, salah satu cara agar lingkungan kampus khususnya Universitas Khairun terbebas dari paham radikalisme adalah dengan memperkuat wawasan kebangsaan dan cinta tanah air melalui mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, ketiga mata kuliah tersebut harus dimaknai secara mendalam baik oleh dosen maupun mahasiswa. Hadirin yang berbahagia Sebagai penutup, Saya berharap para wisudawan/wisudawati mulai saat ini berikrar dalam diri pribadi, dari lubuk hati yang paling dalam, Bahwa “saya sebagai alumni Universitas Khairun, sebagai kaum terpelajar akan senantiasa memberikan pencerahan kepada masyarakat sesuai dengan kompetensi keilmuan yang saya geluti, dan akan terus berusaha sekuat tenaga dan semampu saya untuk menjaga keutuhan tanah air yang sama-sama kita cintai ini dari segala upaya radikalisme dan tindakan radikal yang berujung pada terror, bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Semoga kalian sukses dalam bidang masing-masing, membawa nama baik almamater di tengah-tengah masyarakat, dan menjadi pelita bagi masyarakat awam.
Akhir kata Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. (Humas)