Seminar Hukum Pidana Berkeadilan, FH Unkhair Hadirkan Guru Besar Viktimologi Unsoed

UNKHAIR–Fakultas Hukum Universitas Khairun (FH-Unkhair), Ternate kembali menyelenggrakan seminar nasional, bertajuk “Membangun Hukum Pidana Indonesia yang Berkeadilan”, menghadirkan Guru Besar viktomologi Universitas Jenderal Soedirman, bertempat di Aula Nuku, Gedung Rektorat Kampus II Gambesi, Kota Ternate Selatan, (13/11/2023).

Seminar Nasional Fakultas Hukum (Dok. Humas)

Seminar ini dihadiri oleh para pimpinan, Dekan Hukum, Jamal H. Arsyad, SH., MH, Wakil Dekan I, Bidang Akademik, Dr. Sultan Alwan, SH., MH, Wakil Dekan II, Bidang Umum, Kepegawaian, dan Keuangan, Faisal, SH., MH, Wakil Dekan III, Bidang Kerjasama, Kemahasiswaan, dan Alumni, Bambang Daud, SH., MH, Tendik Rusli Jalil, SH., MH, para dosen, serta audensi mahasiswa di lingkungan FH Unkhair. Hadir sebagai narasumber utama, Prof. Angkasa, SH., MH, Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah, dan Dr. Syawal Abdulajid, SH., M. Hum, dosen FH Unkhair, yang di pandu oleh Dr. Amriyanto, SH., MH, dosen Fakultas Hukum.

Dekan Hukum, Jamal H. Arsyad, SH., MH, ditemui di sela-sela seminar, mengatakan seminar ini merupakan kegiatan reguler digelar setiap tahun, dan bekerjasama FH Unkhair dengan Unsoed. Hal ini dilakukan untuk mendukung akreditasi, serta Indikator Kinerja Utama (IKU).

Menurutnya, perdebatan hukum tak lepas dari prinsip keadilan, lihat saja kondisi fenomena menjadi catatan tak henti-hentinya dilakukan berbagai seminar, dan diskusi hukum yang berkeadilan dengan spirit untuk kepentingan pemangku kepentingan bangsa, daerah dan masyarakat.

Ia menyebut, perbincangan mengenai hukum berkeadilan pada dasarnya, dari aspek bangunan hukumnya sudah maksimal, namun praktiknya masih berorientasi simpangsiur, sehingga perlu kembali menata hukum berkeadilan bagi eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif.

Menyanyikan Lagu Indonesia Raya (Dok. Humas)

“Jangan tebang pilih dalam menegakkan hukum, apalagi ada perlakuan khusus.  melalui seminar ini, kepada semua pihak terus mengawal reformasi hukum sebagaimana cita-cita bangsa,“ ujarnya.

Lebih lanjut, dikatakan seminar ini, dalam rangka menggugah mahasiswa, dan semua pihak, bahwa hukum berkeadilan tak sebatas di lihat dari pendekatan teori, tapi secara kritis, pemahaman atau empatinya memperkuat penegakan supremasi hukum.

Dekan juga berharap, pentingnya peran mahasiswa sebagai pionir penegakkan hukum, pasca mengikuti seminar bisa menyuarakan hukum berkedilan, bukan hukum imparsial, dan mahasiswa FH, bagian dari kekuatan moral di saat hukum mengalami disfungsi.

Hadir pemateri pertama, membedah hukum berkeadilan sesuai keilmuan. Prof. Angkasa, SH., MH, Guru Besar di bidang Viktimologi Unsoed, mengungkapkan  pandangannya dari perspektif korban, menurutnya korban adalah aspek-aspek hukum yang mengalami kerugian disebabkan oleh perbuatannya. Dari hukum pidana, korban dan pelaku, justeru Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, syarat masterpiece erat dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi pelaku.

Menurutnya, mengenai korban diintegrasikan dalam sistem pengadilan pidana, hukum materil yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang di larang beserta ancaman sanksi, dari hasil risetnya mengungkapkan kurang uang hukumannya panjang, yang mengundang tanya, apa itu perlindungan hukum, setiap hak yang di miliki oleh setiap subyek hukum di dasarkan pada peraturan, perundang-undangan yang berlaku.

Membangun hukum pidana berkeadilan, tentunya memberi rasa keadilan terkait kondisi korban yang kini termarjinalkan, dari pendekatan viktomologi, dapat menganalisis berbagai aspek korban, dan hukum masih terkooptasi sebatas pelaku, lihat saja kasus Kanjuruan, memberi pelajaran yang di cari pelakunya, jarang mencari bagaimana nasib korban, mereka brdalil, agar tidak mengulangi perbuatannya.

Seminar Nasional Fakultas Hukum (Dok. Humas

“Korban mengalami kerugian berbagai aspek, sehingga hak-hak korban seyogianya di lihat sebagai bagian dari integral keseluruhan sistem peradilan pidana,” jelasnya.

Selama ini, lanjutnya hukum pidana material, dan formil, belum adanya Equality before the law, apabila di sandingkan antar korban dan pelaku dari perlakuan sangat jauh, seorang pelaku perlu mendapatkan perlindungan, pasal 27 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di mata hukum.

Selama ini, tambahnya, banyak orang menganggap kejahatan itu disebabkan oleh pelaku, misalnya keturunan, lingkungan, dan sterotipe lainnya. Berbeda etomologi, bahwa kejahatan itu disebabkan karena pengaruh korban. Korbanlah yang memberi stimulus mempunyai andil terjadinya sebuah kejahatan.

Dr. Syawal Abdulajid, SH., M. Hum, dalam pemaparannya, menjelaskan “Paradigma Keadilan Restoratif dalam Penanganan Hukum Pidana di Indonesia”. Menurutnya membangun hukum pidana berkeadilan, dasarnya konstitusi, dan masyarakat adil makmur, sehingga sub_sistem hukum yang di bangun adalah hukum pidana Indonesia.

Ia menekankan, paradigma keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana, yakni peratama perbuatan apa yang di larang oleh aturan, ke dua bagaimana hukumannya, dan ke tiga siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.

Lebih lanjut, Ia menyebutnya ada tiga komponen hukum pidana, yakni perbuatan yang di larang, sanksi, dan siapa yang melakukan sebagaimana dijabarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asumsi pidana hukuman, dan  nestapa sehingga perbuatan pidana merugikan masyarakat.

“Negara perlu melindungi warga dari tindakan pidana, dan negara melindungi proses secara terukur, karena itu setiap rumusan unsurnya harus jelas parameternya, sehingga seorang pencuri itu mengambil barang orang lain, dan bukan menyimpan, tapi mengambil dengan maksud memiliki,” pungkasnya.

Dari kasus tersebut, seorang Hakim akan menjatuhkan pidana seusuai  perbuatan. Kasus ini menjadi perhatian srius, sebab dalam kontsruksi hukum di Indonesia, hukum pidana hubungannya dengan penjara, dapat dibuktikan secara sah.

Penjara dalam konsep keadilan distributif sama halnya pembalasan, penyiksaan, walau akhirnya ada perbaikan sosial, diri maupun di lingkungan, tetapi keadilan distributif  lebih diarahkan kepada bagaimana pelaku sadar, dan tidak lagi melakukan kejahatan.

Dosen FHU Unkahir, juga mengingatkan ancaman pidana itu penting dalam keadilan restibutif. Tidak ada pidana melainkan UU, karena itu keadilan distributif  diketahui penjara menentukan perilaku, sesorang bisa berulang  atau bahkan menjadi sadar dari perbuatannya.

“KUHP tidak mengenal pengawasan, dan pidana sosial. Demikian juga paradigma distributif, sifatnya represif dan koersif, tanpa penekanan, serta penyiksaan terhadap hak-hak terpidana yang menjadi problem pada keadilan destributif,” jelasnya.

Dr. Syawal Abdulajid, SH., M. Hum, menambahkan untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi, serta musyawarah merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, inti dari keadilan retoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi masyarakat, dan tanggungjawab, bagi proses restorasi dari perspektif keadilan restoratif. (Tim Humas)***