UNKHAIR-Pertukaran Mahasiswa Merdeka di singkat PMM, merupakan sebuah program kebijakan Pemerintah, Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakkan sistem pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kaitan di atas, pendidikan Perguruan Tinggi (PT), beperan memobilitasi mahasiswa selama satu semester, menguatkan kemampuan mahasiswa dalam persatuan dan keragaman, yang memiliki pengalaman belajar di PT dari Sabang hingga Merauke.
Mahasiswa merdeka adalah salah satu proses perjalanan pendidikan, yakni para mahasiswa di tukar (inbound dan outbound) selama 5 bulan lamanya, menjalani pendidikan di kampus berbeda secara geografis. Sementara, untuk lolos mewakili kampus cukup selektif, hanya bagi mahasiswa yang memenuhi syarat.
Di tengah semangat kompetisi global, akses inforamasi, dan transportasi makin terbuka lebar, berpeluang para mahasiswa memiliki tekad yang kuat, terlibat langsung setidaknya merasakan bagaimana kehidupan di daerah.
Setiap perjalanan pertukaran mahasiswa merdeka lintas provinsi, pasti menyisahkan suka maupun duka, mulai pembelajaran akademik, toleransi, keragaman budaya, maupun relasi persahabatan sesama mahasiswa inbound atau outbound.
Mayrani Maulidina, mahasiswi Prodi Ilmu Hukum, Institut Bisnis Law A Manajement (IBLAM) Jakarta, menceritakan pengalaman selama berada di Universitas Khairun (Unkhair), Ternate baginya memberi kesan tersendiri.
Awal ke Ternate, membingunkan, perlu penyesuaian bahasa, dari dialeg sangat keras, tapi welcome sama semua pendatang. “Bingun sih, bahasanya orang Ternate, tapi aman, gak apa-apa, mengayomi kok, “tuturnya.
Ceritanya, sangat takjub dengan keindahan Gunung Gamalama, pantai bersih, tak perlu merogo kojek mahal, semuanya di nikmati secara gratis. Berbeda di Jakarta, harus di bayar mahal, bahkan menempuh perjalanan panjang tuk sampai ke tujuan.
“Dina salut sama gunung, dan laut. Di Jakarta, ngeliatnya jauh, harus ke luar daerah, pokoknya kemana-kemana deket, gak bikin macet, dan sumpek,” katanya sembari senyum.
Paling berat, pengalaman jauh dari ke dua orang tua, dan keluarga, Dina menyarankan untuk adik-adik mahasiswa yang bakal mengikuti pelaksanaan program inbound batch 4, perlu menyiapkan mental, tidak perlu takut, banyak keluarga, bahkan bakal betah di Ternate
“Paling berat dirantauan, ninggalin orangtua, bagi PMM 4 siapin mental aje, bakal betah juga sih,” ucapnya.
Peby Rahayu, mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, mengkisahkan banyak ilmu dan pengalaman yang diperolehnya, selain akademik juga menganggumkan diajak keliling Kota Ternate, menikmati wisata hingga menyeberangi menggunakan speed boad ke Jailolo, Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara.
Menurutnya, dari aspek budaya, cukup unik, dan membuatnya banyak tahu budaya secara langsung, sebelumnya hanya di baca melalui buku Maluku, ternyata lumayan banyak kebudayaan yang masih terwat.
“Banyak budaya di sini, dibanding daerah Sumatera, pakaian adatnya kurang, sementara di Ternate, banyak sekali pakaian adat dan budaya, sebagaimana di pakai sekarang,” katanya.
Lebih lanjut, orang Ternate, sangat terbuka menerima pendatang, apalagi mahasiswa rantauan, misalnya meminta bantuan sangat cepat direspon, tanpa basa basi langsung di beri bantuan, sementara daerah sendiri, nyaris berpikir lebih ke personal.
“Daerah aku, kesannya acuh tak acuh, masih berpikir emoisional, dan Ternate kebersamaannya masih kuat, dan senang membantu mahasiswa rantauan,” ceritanya.
Hanya saja, cukup sulit di Ternate, itu penyesuaian bahasa, sebab kurang memahami apa yang di sampaikan, perlu banyak belajar, misalnya “kadara, dan kalao”, membingunkan.
Sementara itu, Sunly Paulus Sirait, mahasiswi Otomotif dari Universitas Negeri Medan, mengaku seru menjalai PMM batch 3 di Unkhair, baik kultur, suasana, maupun orangnya juga ramah dengan mahasiswa pendatang.
Menurutnya, banyak kenangan yang tak terlupakan seumur hidup, yakni kuliner memliki keunikan tersendiri, seperti makan “gohu” ikan, dan “popeda”, baginya kuliner tradisional ini tak di milik daerah lain. “Awalnya kurang cocok tuk di makan, setelah penyesuaian lahap juga”, katanya.
Sunly, berpesan kepada PMM batch 4 inboun Unkhair, semoga lebih betah, dan semangat menjalanji pelakasanaan program ini, hingga penarikan. Sebab, di rantau banyak tantangannya.
Pengalaman yang sangat berbeda di Ternate, misalnya harga pakaian, dan harga sembilan bahan pokok, sangat mahal, di banding daerah lain, tak hanya murah, juga mudah menemukan kebutuhan. (Tim Humas)***